Beranda | Artikel
Mudik: Tradisi atau Ibadah?
6 hari lalu

Mudik adalah fenomena yang sangat khas di Indonesia, terutama menjelang hari raya Idul Fitri. Setiap tahunnya, jutaan perantau dari berbagai kota besar berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga. Fenomena ini bukan hanya sekadar perjalanan pulang, tetapi juga telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.

Namun, muncul pertanyaan: apakah mudik sekadar tradisi atau memiliki nilai ibadah dalam Islam? Untuk memahami hal ini, kita perlu melihatnya dari berbagai perspektif, baik dari segi budaya maupun agama.

Mudik sebagai tradisi

Tradisi mudik dilakukan mayoritas penduduk Indonesia menjelang hari raya Idul Fitri. Mudik menjadi waktu yang sangat dinantikan untuk berkumpul bersama keluarga besar.

Mudik berasal dari bahasa Jawa yang merupakan singkatan dari “mulih dilik”, yang artinya pulang sebentar. Sumber lain juga menyebut kata “mudik” berasal dari Bahasa Betawi yakni “menuju udik” (menuju kampung).

Sejarah mudik dimulai jauh sebelum zaman kerajaan Majapahit. Mudik lebih dulu menjadi tradisi para petani Jawa untuk kembali ke kampung tinggalnya. [1] Fenomena ini semakin berkembang sejak era Orde Baru, saat banyak orang mulai merantau ke kota besar untuk bekerja. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang pesat, banyak warga desa yang mencari nafkah di kota.

Makna sosial dan budaya dalam mudik

Mudik bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga memiliki nilai sosial yang mendalam:

– Mempererat hubungan keluarga karena merupakan momen berkumpul kembali setelah lama berpisah.

– Menunjukkan rasa bakti kepada orang tua dan keluarga besar.

– Mempererat hubungan dengan masyarakat di kampung halaman.

Dari sisi sosial, pemerintah Indonesia pun mendukung tradisi ini dengan berbagai kebijakan, seperti penyediaan transportasi gratis atau subsidi, peningkatan infrastruktur jalan, serta pengamanan lalu lintas untuk mengurangi kemacetan dan kecelakaan saat arus mudik. Dengan makna yang begitu kuat, tidak heran jika mudik dianggap sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Mudik dalam pandangan Islam

Dalam Islam, mudik tidak termasuk dalam kewajiban ibadah seperti salat atau puasa. Namun, jika dilihat dari tujuannya, yaitu mempererat silaturahmi, maka mudik bisa memiliki nilai ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa senang diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” [2]

Hadis ini menunjukkan bahwa silaturahmi adalah amalan yang dianjurkan dan memiliki berkah tersendiri. Jika seseorang mudik dengan niat menyambung tali persaudaraan, maka perjalanannya bisa bernilai ibadah.

Islam sangat menganjurkan silaturahmi sebagai bagian dari ajaran untuk menjaga hubungan baik sesama manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِى تَسَاءَلُونَ بِه وَالاَرحَامَ​  اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيكُم رَقِيبًا

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu …” [3]

Mudik bisa menjadi bentuk silaturahmi, yang dalam Islam bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat baik dan cara yang benar. Namun, Islam juga mengajarkan keseimbangan. Jika mudik membebani secara finansial, menyusahkan diri sendiri, atau bahkan membahayakan keselamatan, maka perlu dipertimbangkan kembali.

Mudik dan berbakti kepada orang tua

Mudik sering kali menjadi kesempatan untuk berbakti kepada orang tua. Islam menempatkan kewajiban berbakti kepada orang tua setelah kewajiban kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

وَوَصَّينَا الاِنسٰنَ بِوَالِدَيهِ​ حَمَلَتهُ اُمُّه وَهنًا عَلٰى وَهنٍ وَّفِصٰلُه فِى عَامَينِ اَنِ اشكُر لِى وَلِـوَالِدَيكَ اِلَىَّ المَصِيرُ‏

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu …” [4]

Jika seseorang mudik dengan niat untuk membahagiakan orang tua, maka ia sedang menjalankan salah satu ibadah yang sangat besar pahalanya.

Mudik bukan kewajiban dalam Islam

Meskipun silaturahmi dianjurkan, Islam tidak mewajibkan seseorang untuk mudik. Jika seseorang tidak mampu, Islam tidak membebaninya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفسًا اِلَّا وُسعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [5]

Oleh karena itu, jika mudik menjadi beban finansial atau membahayakan keselamatan, maka lebih baik mencari cara lain untuk tetap menjaga silaturahmi, seperti melalui telepon atau video call.

Agar mudik bernilai ibadah

Agar mudik bernilai ibadah, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

Niat yang ikhlas

Niatkan mudik sebagai ibadah untuk menyambung silaturahmi dan menggapai rida Allah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.“ [6]

Menjaga keselamatan

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga nyawa. Jika mudik dilakukan dalam kondisi yang membahayakan, seperti memaksa pulang dengan kendaraan yang tidak layak atau menghadapi kemacetan ekstrem, maka sebaiknya dipertimbangkan ulang.

Mudik seringkali diwarnai dengan kemacetan panjang dan perjalanan yang melelahkan. Islam mengajarkan untuk menjaga keselamatan diri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

”Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” [7]

Karena itu, penting untuk memilih waktu dan sarana transportasi yang aman serta tetap menjaga kesehatan selama perjalanan.

Menjaga kesabaran dan akhlak selama perjalanan

Mudik seringkali melelahkan dan bisa memicu emosi, seperti marah di jalan, menyerobot antrian, atau tidak sabar saat menghadapi kemacetan. Dalam situasi seperti ini, kesabaran sangat diperlukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam bergulat. Sesungguhnya ‎orang kuat ialah siapa yang dapat menahan dirinya ketika marah.‎” [8]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” [9]

Menjaga sikap sabar, tidak mudah emosi, dan tetap berperilaku baik selama perjalanan akan menjadikan mudik sebagai perjalanan yang penuh berkah.

Tidak melupakan ibadah wajib

Meskipun dalam perjalanan, kewajiban ibadah seperti salat lima waktu tetap harus dijaga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الوُسطٰى وَقُومُوا لِلّٰهِ قٰنِتِينَ‏

“Peliharalah semua salat dan salat wusṭha, dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk.” [10]

Islam memberikan keringanan seperti salat jama’ dan qashar bagi musafir agar tetap bisa menjalankan ibadah dengan lebih mudah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاِذَا ضَرَبتُم فِى الاَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُنَاحٌ اَن تَقصُرُوا مِنَ الصَّلٰوةِ

“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar salat.” [11]

Dengan kemudahan ini, tidak ada alasan untuk meninggalkan ibadah saat mudik.

Perbanyak dzikir dan doa di perjalanan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan: doa orang yang teraniaya; doa seorang musafir; dan doa orang tua terhadap anaknya“ [12]

Penutup

Mudik pada dasarnya adalah sebuah tradisi, bukan ibadah yang diwajibkan dalam Islam. Namun, jika dilakukan dengan niat yang baik dan sesuai ajaran Islam, mudik bisa menjadi bagian dari ibadah karena mendukung silaturahmi dan kebersamaan dalam keluarga.

Namun, yang perlu diingat adalah bahwa esensi Idul Fitri bukan hanya tentang pulang kampung, tetapi tentang kebersamaan, keikhlasan, dan saling memaafkan. Jika seseorang tidak bisa mudik karena keterbatasan, Islam tetap memberikan jalan lain untuk menjaga silaturahmi, seperti melalui komunikasi jarak jauh atau saling mendoakan.

Semoga bermanfaat.

***

Ditulis di Jember, 3 Ramadan 1446/3 Maret 2025

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Mudik Aman & Sehat, (Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika: 2022), hal. 10

[2] HR. Bukhari dan Muslim

[3] QS. An-Nisa’: 1

[4] QS. Luqman: 14

[5] QS. Al-Baqarah: 286

[6] HR. Bukhari dan Muslim

[7] HR. Ibnu Majah dan Thabrani

[8] HR. Bukhari dan Muslim

[9] HR. Tirmidzi

[10] QS. Al Baqarah: 238

[11] QS. An-Nisa’: 101

[12] HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah


Artikel asli: https://muslim.or.id/104046-mudik-tradisi-atau-ibadah.html